Selasa, 30 Juni 2015

Bebal/Bengal dan Ciri-Cirinya


            Seorang teman kita beri tau atau  kita ingatkan akan sebuah kekeliruan yang ia lakukan tapi teman tersebut malah menolak kekeliruan tersebut dan sekan bertahan dengan kekeliruannya tersebut. Kondisi seperti ini dikenal dengan penyakit ( Pen ) BEBAL.
Sering kita bertemu dengan banyak orang yang terkadang membuat kita bingung akan kapasitas orang tersebut kala berbicara jauh dari kompetensinya. Seorang pejabat publik terlalu ego dengan jabtanya, seorang yang kita anggap terhormat dalam keadaan tertentu buta akan sebuah kebenaran. Dan bayak lagi orang yang sekan tidak mau tau dengan arti sebuah kebenaran ia bertahan dengan kondisi seprti orang bodoh. Keadaan seperti inilah yang dikenal dengan istilah BEBAL. Lalau BEBAL itu apa ? Secara gampang dapat kita artikan BEBAL/ BEBALISM itu adalah BODOH atau TIDAK MAU TAU.

Ciri – ciri BEBAL/ BEBALISM
1.      Tidal mau mengenali masalah
2.      Jika diberi tau suatu permasalahan  dia tidak berusaha menyelesaikanya
3.      Tidak mampu mempelajari apa yang diperlukannya, malah tidak ada kemahiran belajar
4.      Tidak mengaku ke BEBALAN nya / Tidak mengaku kebodohanya
5.      Tidak mampu menghubung kaitkan sesuatu dengan yang lain
6.      Hanya memikirkan tindak balas, tanpa memikirkan akibat yang panjang
7.      Berfikir hanya melalui sebab terhad bukan sebab akibat
8.      Terpenjara dengan tabiat sendiri tanpa berfikir kritis
9.      Tidak berfikir mendalam
10.  Tidak memiliki tenaga akal hanya memikirkan hal yang mudah
11.  Tidak berbicara dengan abstrak yang tinggi.

Nah jika kita menemukan orang, teman, atau siapa saja yang mempunya ciri mirip dengan hal yang diatas, maka dapatlah kita katakan dia itu seorang yang BEBAL atau BEBALISM. Di Ramadhan ini yok kita berusaha sekuat mungkin menghindari BEBALISM  terserbut.

Kamis, 25 Juni 2015

Wali Songo

                             Penyebaran Islam di Jawa terkait erat dengan keberadaan Walisongo. Walisongo dapat dikatakan sebagai jantung penyiaran Islam di Jawa. Ajaran-ajaran mereka memiliki pengaruh yang besar. Pengaruh mereka di kalangan masyarakat Jawa sedemikian besar, bahkan kadang kala menyamai pengaruh seorang raja. Karenanya, masyarakat memberi mereka gelar “sunan”. Kata ini berasal dari kata “susuhunan”, “yang dijunjung tinggi/dijunjung di atas kepala”, gelar atau sebutan yang dipakai para raja. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, Walisongo memiliki nilai kekeramatan dan kemampuan-kemampuan diluar kelaziman. Walisongo merupakan sembilan ulama yang merupakan pelopor dan pejuang penyiaran Islam di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16.
                 Keberhasilan Islamisasi Jawa merupakan hasil perjuangan dan kerja keras Walisongo. Proses Islamisasi ini sebagian besar berjalan secara damai, nyaris tanpa konflik baik politik maupun kultural. Walisongo menerapkan metode dakwah yang akomodatif dan lentur, sehingga kehadiran mereka bisa diterima dengan baik oleh masyarakat.
Untuk lebih jelasnya mengenai Walisongo berikut uraian singkat masing-masing wali tersebut :

1)      Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
                        Dakwah Islam di Jawa dipandang sukses ketika dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim. Pada akhir Abad ke-14 ia mendarat di pantai Jawa Timur beserta beberapa orang kawannya untuk selanjutnya menetap di Gresik.
              Maulana Malik Ibahim ini tercatat sebagai orang Islam pertama yang masuk ke Pulau Jawa. Oleh Karena itu, kedatangan beliau dianggap sebagai permulaan masuknya Islam ke Pulau Jawa.
                                    Maulana Malik Ibrahim memilih jalur Pendidikan sebagai media dakwahnya. Pesantren merupakan bentuk pendidikan yang digagasnya. Pendirian pesantren dimaksudkan untuk menampung dan menjawab permasalahan-permasalahan sosial kegamaan serta menghimpun santri.
              Sunan Gresik dianggap sebagai “Bapak Spritual Walisongo”. Maulana Malik Ibrahim tetap tinggal di Gresik untuk menyiarkan ajaran Islam hingga wafatnya pada tanggal 12 Rabiulawwal 822 H / 8 April 1419 M. Makamnya terletak di Kampung Gapura Wetan, Gresik. Makamnya banyak diziarahi oleh masyarakat hingga sekarang. Sunan Gresik dipandang sebagai penyiar Islam pertama di Jawa.

2)      Raden Rahmat atau Sunan Ampel
                      Sunan Ampel nama aslinya adalah Raden Rahmat. Ia lahir di Campa tahun 1401 M, Raden Rahmat adalah putera dari Sunan Gresik dan ia merupakan penerus perjuangan ayahnya dalam menyiarkan agama Islam di Jawa.
              Langkah awal Sunan Ampel membangun pesantren di Ampel Denta,  Surabaya. Melalui pesantrennya Sunan Ampel  mendidik kader-kader da’i yang kemudian dikirim ke seluruh Jawa. Murid-murid Sunan Ampel yang terkenal antara lain : Raden Paku (Suna Giri), Raden Fatah (Sultan Demak), Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Maulana Ishak (penyebar Islam di Blambangan)
                        Sunan Ampel Dikenal sebagai tokoh pencipta dan perencana kerajaan Islam pertama di Jawa. Dialah yang mengukuhkan Raden Fatah sebagai sultan pertama kesultanan Demak. Dari kesultanan inilah penyebaran Islam ke seluruh wilayah Nusantara dilancarkan. Hal lain yang perlu diketahui, Sunan Ampel bersama para wali telah mendirikan masjid Demak tahun 1479 M.
          Dalam dakwahnya, Sunan Ampel mengkhawatirkan penyimpangan aqidah akibat tradisi masyarakat Jawa, seperti Kenduri, slametan dan sesaji yang hidup di kalangan masyarakat, namun ia tetap toleransi dengan cara memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam tradisi-tradisi tersebut.
Sunan Ampel wafat tahun 1481 M makamnya bisa kita jumpai di Masjid Ampel, Surabaya.

3)      Maulana Makhdum Ibrahim atau Sunan Bonang
                 Sunan Bonang adalah putera dari Sunan Ampel, ia merupakan sepupu dari Sunan Kalijaga dan cucu dari Maulana Malik Ibrahim. Sekembalinya dari Pasai, Sunan Bonang mendirikan pesantren di daerah Tuban dan santrinya berasal dari berbagai daerah di Tanah Air.
                 Sebagaimana corak perjuangan wali yang lain, Sunan Bonang juga sangat memperhatikan tradisi dan budaya masyarakat. Pada saat itu, masyarakat Jawa dikenal memiliki kegemaran terhadap seni pewayangan.
Karenanya Sunan Bonang memanfaatkan media wayang untuk menyampaikan dakwahnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali dan Sunan Bonang pada khususnya berisi tentang ajaran tauhid dan peribadatan. Salah satu tembang ciptaan Sunan Bonang adalah tembang “durma”.
                 Setelah ayahnya wafat, ia bermusyawarah dengan  para wali untuk membahas kepemimpinan di pesantren milik ayahnya. Hasil musyawarah para wali menunjuk Raden Fatah sebagai penerus kepemimpinan di pesantren Ampel Denta. Sunan Bonang memberikan pendidikan Islam secara mendalam kepada Raden Fatah (putera raja Majapahit). Pada masa selanjutnya, Raden Fatah dinobatkan menjadi sultan pertama Kerajaan Demak.
                 Sunan Bonang wafat tahun 1525 M dan dimakamkan di Tuban, daerah yang menjadi basis perjuangan dakwahnya.
4)      Raden Mas Syahid atau Sunan Kalijaga
                 Nama asli Sunan Kalijaga  adalah Raden Mas Syahid, kadang juga dijuluki Syekh Malaya, Lokajaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman. Sebutan Kalijaga diyakini berasal dari rangkaian bahasa Arab qadi zaka yang berarti “pelaksana” dan “membersihkan”. Oleh masyarakat Jawa kata qadizaka sering disebut Kalijaga, yang berarti pemimpin atau pelaksana yang menegakkan kebersihan atau kesucian.
                 Sunan Kalijaga dikenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, berpandangan jauh, berpikiran tajam, intelek dan berasal dari suku Jawa asli. Dalam melaksanakan dakwahnya, Sunan Kalijaga tidak menetap di suatu daerah. Sistem dakwahnya intelek dan aktual. Banyak orang dari kalangan bangsawan dan cendikiawan menaruh hormat dan simpati terhadapnya. Dakwahnya dapat dan mudah diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Sunan Kalijaga dikenal pula sebagai arsitek sistem pemerintahan Jawa yaitu kabupaten, yang pada masa kini telah diterapkan pula secara nasional.
                 Ketika para wali memutuskan untuk menggunakan pendekatan kultural terhadap masyarakat, termasuk di antaranya wayang dan gamelan sebagai media dakwah, orang yang paling berjasa dalam hal ini adalah Sunan Kalijaga. Pendekatan kultural lain yang diunakan Sunan Kalijaga dalam berdakwah adalah memasukkan unsur-unsur Islam dalam seni suara, seni ukir, seni busana, seni pahat dan kesusasteraan.
          Salah satu karyanya dalam seni batik yaitu yang bermotif burung. Sunan Kalijaga wafat pada pertengahan abad ke-15 dan dimakamkan di desa Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.

5)      Raden Paku atau Sunan Giri
          Raden Paku adalah putra Maulana Ishak (murid sunan Ampel). Ia lahir di Blambangan (Banyuwangi) pada tahun 1442 M. Sunan Giri menuntut ilmu di Pesantren Ampel Denta milik Sunan Ampel. Di sini dia bertemu dengan putera Sunan Ampel yang bernama Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang).
          Sunan Giri mendirikan sebuah pesantren di daerah Giri sebagai basis dakwahnya. Ia dikenal sebagai seorang pendidik yang menerapkan metode permainan yang bersifat agamis. Ia juga sangat berpengaruh besar dalam pemerintahan kesultanan Demak. Berbagai masalah atau keputusan penting selalu menanti pertimbangan Sunan Giri.
Sunan Giri wafat sekitar abad ke-16, dan makamnya bisa kita jumpai di Bukit Giri, Gresik.

6)      Raden Kosim atau Syarifuddin atau Sunan Drajat
                 Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel saudara Sunan Bonang dan menantu Sunan Gunung Jati. Ia lahir di Ampel Denta kira-kira tahun 1470 M. Sunan Drajat dikenal juga dikenal dengan Sunan Sedayu karena ia dimakamkan di Sedayu.
       Ketika para wali memutuskan untuk mengadakan pendekatan kultural terhadap masyarakat Jawa dalam menyiarkan agama Islam, Sunan Drajat juga mempunyai andil. Ia menciptakan tembang Jawa yang sampai saat ini masih banyak digemari masyarakat, yaitu tembang Pangkur dan Cariosi Jaka Pertaka.
       Hal yang membedakan dari para wali lainnya adalah kepekaannya terhadap masalah-masalah sosial. Dalam dakwahnya, Ia lebih mengedepankan tema-tema kepedulian sosial dan kegotongroyongan. Ia memberikan teladan dengan memberi pertolongan kepada kaum yang lemah. Ia sangat memahami bahwa menyantuni anak yatim dan fakir miskin merupakan sebuah kewajiban yang sangat dianjurkan agama Islam.

7)      Ja’far Sadiq atau Sunan Kudus
                 Sunan Kudus nama aslinya adalah Ja’far Sadiq, Ia adalah putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang). Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Mesir yang berkelana sampai ke Daerh Jawa.Sewaktu kecil Sunan Kudus dipanggil Raden Undung dan juga dijuluki Raden Amir Haji sebab ia pernah bertindak sebagai pemimpin jemaah haji.
                 Sunan Kudus adalah putra Raden Usman Haji yang menyiarkan Islam di daerah Jipang Panolan, Blora, Jawa Tengah. Konon menurut silsilahnya, Sunan Kudus masih keturunan Nabi Muhammad Saw.
                 Sunan Kudus terkenal karena keluasan ilmu agama Islammya dan sebagai seorang pujangga. Karena keluasan ilmunya itu dia mendapat julukan waliyyul ‘ilmi orang yang kuat ilmunya.
                 Dia  menguasai ilmu-ilmu agama terutama fikih, usul fikih, tauhid, hadis, tafsir serta logika. Ia menjalankan dakwahnya di daerah Kudus dan sekitarnya, banyak santri dari berbagai pelosok Nusantara yang datang kepadanya untuk memuntut ilmu.
                 Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Kudus pernah belajar di Baitul Maqdis, Palestina. Ketika belajar di sana, ia berjasa memberantas penyakit yang menelan banyak korban. Atas Jasanya, ia diberi ijazah wilayah   (daerah kekuasaan) di palestina. Sunan Kudus  mengharapkan hadiah tersebut dipindahkan ke Jawa. Oleh amir (penguasa setempat), permintaan itu dikabulkan. Sekembalinya ke Jawa, ia mendirikan sebuah masjid di daerah Loran pada tahun 1549 M. Masjid inilah yang kemudian dikenal dengan nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar. Oleh Sunan Kudus, daerah sekitar masjid diganti pula namanya menjadi Kudus, yang diambil dari nama sebuah kota di Palestina yaitu Al-Quds.
                 Sunan Kudus wafat di Kudus pada tahun 1550 M dan makamnya berada di dalam komplek Masjid Menara Kudus.

8)        Raden Umar Said atau Sunan Muria
                 Sunan Muria adalah putra dari Sunan Kalijaga. Nama aslinya adalah Raden Umar Said atau Raden Said. Semasa kecil ia biasa dipanggil Raden Prawoto. Ia lebih dikenal dengan nama Sunan Muria, sebab pusar kegiatan dakwah ataupun makamnya terletak di Gunung Muria, yang berjarak sekitar 18 kilometer sebelah utara kota Kudus. Ciri khas Sunan Muria dalam menyiarkan Islam adalah menjadikan desa-desa terpencil sebagai medan dakwah Islamnya. Ia banyak bergaul dengan rakyat jelata atau rakyat kebanyakan dan memberikan kursus-kursus atau keterampilan kepada para petani, pedagang, nelayan ataupun elemen masyarakat kecil lainnya.
       Sunan Muria juga sering kali dijadikan sebagai penengah dalam konflik internal di kesultanan Demak, karena dia mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusinya  itupun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang bersiteru. Dia juga ikut andil dalam pendirian Masjid Demak. Menurut perkiraan, Sunan Muria wafat pada abad ke-16 dan dimakankan di bukit Muria, Kudus.

9)        Syarif Hidayatullah atau Fatahillah atau Sunan Gunung Jati
                 Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah atau Fatahillah atau Falatehan, diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ia  adalah salah  seorang dari Walisongo yang banyak berjasa dalam menyebarkan Islam di pulau Jawa, Khususnya di Jawa Barat. Ia dikenal sebagai pendiri kesultanan Cirebon dan Banten. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya walisongo yang memimpin pemerintahan.
                 Syarif Hidayatullah belajar agama Islam sejak kecil dan mulai mendalami ilmu agama secara intensif sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Dalam berdakwah ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infra struktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
                 Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya hanya untuk menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Sunan Gunung Jati wafat tahun 1568 M dalam usia 120 tahun dan dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, Cirebon.

Selasa, 23 Juni 2015

Tokoh Penyebar Islam di Pulau Sumatera

              Proses penyebaran Islam di wilayah nusantara tidak dapat dilepaskan dari peran aktif para ulama awal terkemuka. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik dikalangan masyarakat Nusantara. Diakui secara umum bahwa agama Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui Sumatera. Selanjutnya, dari Sumatera penyiaran agama Islam berkembang ke pulau-pulau lain di Nusantara. Ketika kekuatan Islam semakin melembaga, berdirilah kerajaan-kerajaan Islam. Berkat dukungan kerajaan-kerajaan serta upaya gigih dari para ulama, Islam sampai ke tanah Jawa.
    Tokoh Islam di Sumatera
Proses Penyebaran Islam di Indonesia tidak terlepas dari peranan para tokoh Islam di Sumatera. Mereka melakukan berbagai upaya untuk menjadikan agama Islam sebagai anutan bangsa Indonesia
Di antara tokoh-tokoh yang berhasil mengembangkan Islam di Sumatera adalah :
1.    Hamzah Fansuri
                        Hamzah Fansuri dilahirkan di Fansur Aceh, beliau menuntut ilmu sampai ke India, Persia, Mekah dan Medinah untuk mempelajari ilmu-ilmu seperti Fiqih, Tauhid, Tasawuf, Sejarah dan Sastra Arab.
Setelah kembali ke Aceh, beliau mengajarkan ilmu-ilmunya di Pesantren (Dayah) di Oboh Simpang kanan Singkel.
                        Di samping sebagai ulama, ia juga sebagai sastrawan. Hal ini dibuktikan dengan beberapa hasil karyanya. Di antara hasil karyanya yang terkenal adalah :
1)   Risalah Tasawuf berbahasa Melayu
2)   Puisi-puisi Filosofis dan Mistis bercorak Islam
3)   Syair puisi empat baris dengan skema sajak a-a-a-a yang merupakan perpaduan antara ruba’i Persia dengan Pantun Melayu
4)   Asrarul Arifin (ilmu tafsir: penggunaan metode takwil)
2.    Syamsuddin al-Sumaterani
                        Syamsuddin al-Sumaterani merupakan seorang ulama terkemuka di Aceh dan Nusantara pada abad ke XVI M. Ia memiliki posisi penting di Kerajaan Aceh Darussalam sehingga ia termasuk salah seorang tokoh \yang diceritakan dalam buku Hikayat Aceh.
                        Dalam buku tersebut diceritakan bahwa Syeh Syamsuddin al-Sumaterani pernah diminta oleh Sultan Iskandar Muda untuk melakukan penyembelihan hewan qurban selepas shalat Idul Adha di Masjid Baiturrahman.
                        Symsuddin al-Sumaterani memiliki pengaruh yang sangat besar dan kuat di Aceh sehingga ia diberi jabatan-jabatan penting oleh Sultan Iskandar Muda, di antaranya :
1)   Syeh al-Islam ( gelar tertinggi untuk ulama, qadi, imam)
2)   Penasehat Raja
3)   Imam Kepala
4)   Anggota tim perunding dan juru bicara Kerajaan Aceh Darussalam
Karya-karya Syamsuddin al-Sumaterani di antaranya adalah
1)   Jauhar al-Haqaid
2)   Risalah al-Baiyyin al-Mulahaza al-Muwahiddin wa al-Muhiddin fi Dzikr    Allah
3)   Mir’ah al-Mukminin
4)   Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri
5)   Syah Syair Ikan Tongkol
6)   Nur al-Daqa’iq
7)   Thariq al-Saliqin
8)   Mir’ah al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur
9)   Kitab al-Harakat
10)    Fi Dzikr Dairah Qad Qausayn aw Adna
3.    Nuruddin al-Raniri
                 Nuruddin al-Raniri dilahirkan di Ranir (sekarang Render) Gujarat- India. Ia lebih dikenal sebagai seorang ulama Melayu. Perkenalannya dengan tokoh Indonesia dimulai ketika ia melanjutkan studi ke Haramain tahun 1030 H / 1620 M. Diperkirakan ia melakukan perjalanan pertama ke Melayu (Sumatera) dan menetap disana antara tahun 1030H/1621 M. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani al-Raniri diangkat sebagai Syekh al-Islam. Nuruddin al-Raniri melakukan berbagai pembaharuan terhadap pemikiran Islam di tanah Melayu,khususnya di Aceh. Termasuk memerangi doktrin  Wujudiyah yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumaterani. Hal ini Dilakukannya selama lebih kurang 7 tahun.
                 Karya karya yang dihasilkan oleh Nuruddin al-Raniri kebanyakan berbicara soal Tasawuf, Fiqih, Qalam, Perbandingan Agama, Hadits dan Sejarah. Diantara hasil karya beliau adalah :
1)        Shiratul Mustaqiem.
2)        Durratul Aqaid Bisyarahal Aqaid.
3)        Tibyan fi Ma’rifatil Adyan.
4)        Hidayatul Habib Fi Taghrib wat Tarhib.(kumpulan terjemahan Hadist dalam bahasa Melayu).
                        Pada tahun 1054 H/1644 M Nuruddin al-Raniri kembali ketempat kelahirannya di Ranir Gujarat.
4.    Abdur Rauf Singkel.
            Abdur Rauf Singkel dilahirkan di Singkel Aceh tahun 1024 H/1615 M, nama aslinya Abdur Rauf al-Fansuri atau Abdur Rauf al-Singkili. Beliau adalah orang yang pertama kali mengembangkan  Tarekat Syattariyah di Indonesia. Pada tahun 1640 M Abdur Rauf Singkel berangkat ke tanah Arab dan menetap di Mekah untuk menambah pengetahuan agama. Ia berguru kepada Ahmad Qusasi dan Ibrahim al-Qur’ani.
            Setelah mendapat pengetahuan dan ijazah dari Ibramim al-Qur’ani ia kembali ke Aceh tahun 1584 H/1661 M, ketika itu Aceh dikuasai oleh Sultanah Syafiatuddin Tajul Alam.
            Di Aceh, Abdur Rauf Singkel giat dalam berdakwah dan mempunyai banyak murid, di antara muridnya adalah Burhanuddin Ulakan Pariaman Sumatera Barat. Abdur Rauf Singkellah yang menghapuskan ajaran Salik Buta. Ajaran Salik Buta yang dihapus adalah para Salik (Pengikut Tarekat) yang tidak mau bertobat dibunuh.
                        Abdur Rauf Singkel memiliki lebih kurang 21 karya tulis yang terdiri dari kitab tafsir, hadis, fikih dan tasawuf. Karyanya di bidang tafsir antara lain Turjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) merupakan kitab tafsir pertama di Indonesia yang berbahasa Melayu. Kitab tafsir yang lain karyanya adalah Mir’at at-Tullab fi Tahsil Ma’rifah Ahkam asy-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahab. Sedangkan karyanya di bidang tasawuf adalah ‘Umdat al-Muhtajin (Tiang Orang yang Memerlukan), Kifayat al-Muhtajin (Pencukup Para Pengemban Hajat), Daqa’iq al-Huruf (Detail Huruf), dan Bayan Tajalli (Keterangan Tentang Tajalli).
            Terkait dengan pemikiran Abdul Rauf Singkel mengenai wujud Allah dalam beberapa tulisannya mengenai tasawuf terlihat bahwa Abdur Rauf Singkel tidak setuju dengan tindakan pengkafiran oleh Nuruddin al-Raniri terhadap pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumaterani yang berpaham Wahdatul Wujud atau Wujudiyyah. Menurutnya, jika tuduhan pengkafiran ini tidak benar orang yang menuduh dapat disebut kafir.
            Pandangan Abdur Rauf Singkel terhadap Wahdatul Wujud atau Wujudiyyah dinyatakan dalam buku Bayan Tajalli. Ia mengatakan bahwa betapapun dekatnya seorang hamba terhadap Allah swt; pencipta dan makhluk tetap mempunyai arti sendiri.
            Abdur Rauf Singkel meninggal dan dimakamkan di Kuala (muara) Banda Aceh, sehingga ia dikenal dengan nama Tengku Syiah Kuala. Nama ini diabadikan pada perguruan tinggi yang didirikan di Banda Aceh tahun 1961 M, yaitu Universitas Syiah Kuala.
5.    Syekh Abdussamad al Palimbani
                        Syekh Abdussamad al Palimbani lahir di Pelembang tahun 1116 H/1704 M, ayahnya berasal dari Yaman. Beliau pertama kali mendapat pendidikan di Kedah (Semenanjung Malaka) dan Patani (Thailand) kemudian ia belajar ke Timur Tengah.
                        Syekh Abdussamad sangat peduli terhadap perkembangan keagamaan dan politik yang terjadi di Nusantara. Hal ini terlihat dari beberapa karya dan juga himbauannya terhadap umat Islam untuk melakukan jihad fi sabilillah menentang kekuatan penjajah Eropa. Karyanya tersebut adalah Nasihah al-Muslimin wa Tazkiyarah al-Mukminin fi Fadla’ilil Jihad fi Sabililah (Nasehat bagi kaum muslim dan peringatan bagi orang beriman tentang keutamaan jihad di jalan Allah). Sampai akhir hayatnya Syeh Abdussamad menetap di Haramain dan wafat tahun 1203 H/1789 M di usia 85 tahun.
6.    Syeh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
                        Syeh Ahmad Khatib al-Minangkabawi lahir di Bukittinggi Sumatera Barat tahun 1276 H/1855 M. Ayahnya seorang jaksa di Padang sedangkan ibunya adalah puteri Tuanku nan Renceh seorang ulama terkenal dari kelompok Paderi. Beliau mendapat pendidikan awal di SR (Sekolah Rendah) dan sekolah guru di Bukittinggi. Pada tahun 1876 M beliau melanjutkan pendidikan ke Mekah sampai akhirnya memperoleh kedudukan yang tinggi dalam mengajarkan agama. Selain itu ia juga diangkat menjadi Imam Besar Masjidil Haram yang bermazhab Syafi’i.
                        Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi memberikan gagasan pembaharuan Islam dengan menekankan pentingnya syariat dan menolak tarekat. Terlihat dalam karyanya Izhar Zugalul Kadzibin, yang menolak praktek tarikat Naqsabandiyah.
                        Dari murid-murid Syekh Ahmad Khatib di Mekah tercatat empat orang ulama Melayu Indonesia yang kemudian hari menjadi penerus gagasan pembaharuan di Minangkabau. Mereka adalah :
1)   Syekh Thahir Jalaluddin al-Azhari (1869-1956 M)
2)   Syekh Muhammad Jamil Djambek (1860-1947 M)
3)   H. Karim Amrullah (1879-1945 M)
4)   H. Abdullah Ahmad (1878-1933 M)
                        Syekh Ahmad Khatib meninggal di Mekah tahun 1334 H/ 1916 M dalam usia 60 tahun.